Bismillah,
Tulisan ini hadir usai saya membaca buku Wanita-Wanita Mulia di Sekitar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Saya membutuhkan beberapa hari untuk menghabiskan 619 halaman buah karya dari Abu Salsabil Muhammad Abdul Hadi ini. Pandemi memberi saya ruang untuk menggerakkan minat membaca saya. Saya kira buku setebal itu tak sanggup saya tuntaskan. Tapi perlahan-lahan akhirnya saya berhasil mengkhatamkan buku terbitan dari Pustaka Arafah ini. Alhamdulillah.
Dalam buku Wanita-Wanita Mulia di Sekitar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini, penulis menampilkan fragmen kecil kehidupan istri-istri Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan shahabiyat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Banyak hikmah dan keteladanan yang bisa kita ambil. Nilai tambah dari buku tersebut adalah adanya analisa dan hikmah yang dilampirkan oleh penulis ditiap kisah yang diangkat. Bagi saya pribadi, hal ini memudahkan pembaca memahami nilia-nilai yang terkandung ditiap fragmen yang disajikan oleh penulis.
Bila ditotal ada 22 nama yang dibahas dalam buku Wanita-Wanita Mulia di Sekitar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tapi, saya tidak akan membahas keseluruhan nama tersebut. Satu catatan penting bagi saya setelah membaca buku ini adalah tiap sisi kehidupan yang disorot oleh penulis memiliki nilai ibadah yang tinggi. Tiap keputusan ditiap fase kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai bentuk dakwah yang berdampak bagi perkembangan Islam. Melalui buku ini kita dapat melihat sisi ketaatan, kecerdasan, kesederhanaan, pengorbanan, kasih sayang, dan keteguhan hati wanita-wanita mulia ini terhadap Islam.
Ummul Mukminin Juwairiyyah binti Harits (Al-Hulwah Al-Malahah, Manis lagi sangat cantik)
Nama dan Nasabnya
Dia adalah Juwairiyyah binti Harits bin Abi Dhirar bin Hubaib bin Aidz bin Malik bin Judzaimah bin Mushthaliq bin Khuza’ah. Juwairiyyah merupakan nama yang diberikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepadanya. Sebelumnya Juwairiyyah bernama Barrah.
Juwairiyyah dilahirkan empat belas tahun sebelum Hijrah. Dia adalah putri dari Harits bin Abi Dhirar yang merupakan pemimpin dan pemuka dari kaum Bani Mushthaliq. Kisah Juwairiyyah dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terjadi usai perang Bani Mushthaliq. Perang Bani Mushthaliq berdasarkan pendapat yang kuat terjadi pada bulan Sya’ban tahun 6 Hijriyah. Dalam peperangan tersebut suami dari Juwairiyyah terbunuh oleh kaum muslimin. Juwairiyyah pun menjadi tawanan perang wanita.
Menjadi Istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Salam.
Sebagai putri dari seorang pemimpin dan pemuka kabilahnya, Juwairiyyah tidak ingin menjadi tawanan atau budak yang diperjualbelikan. Juwairiyyah berusaha membayar kemerdekaan dirinya dengan cara mukatabah. Keinginannya tersebut disampaikan langsung ke Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dari ‘Aisyah, Ummul Mukminin, dia berkata :
Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membagi tawanan wanita Bani Mushthaliq, Juwairiyyah binti Harits ditetapkan menjadi milik Tsabit bin Qais bin Syammas, atau milik saudara sepupunya. Dia berusaha memerdekakan dirinya dengan cara mencicil harganya atau mukatabah. Dia adalah seorang wanita yang cantik dan manis, tiada seorang pun yang melihatnya kecuali pasti hatinya tertarik kepadanya. Juwairiyyah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta tolong kepada beliau agar berkenan membantu memerdekakan dirinya dengan mukatabah. ‘Aisyah berkata, ” Demi Allah, tiadalah saat itu aku melihatnya di pintu kamarku kecuali aku cemburu. Aku tahu pasti Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan melihat Juwairiyyah sebagaimana yang kulihat. Juwairiyyah masuk menemui Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya adalah Juwairiyyah binti Harits bin Abi Dhirar, pemuka kaumnya. Saya tertimpa musibah yang tak terperikan. Saya menjadi milik Tsabit bin Qais bin Syammas atau saudara sepupunya. Saya berusaha memerdekakan diri saya dengan mukatabah. Sekarang ini saya datang menjumpaimu untuk meminta tolong kepadamu agar membayar kitabah saya.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Maukah kamu kuberitahu sesuatu yang lebih baik dari itu?” juwairiyyah bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” Rasul bersabda, “Aku membayar penuh kitabahmu dan aku menikahimu.” Juwairiyyah menjawab, “Ya, saya mau, wahai Rasulullah.” Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,“Baik, sudah kulakukan itu.” ‘Aisyah meneruskan tuturannya,”Tersiarlah berita kepada masyarakat Madinah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baru saja menikahi Juwairiyyah binti Harits, lantas mereka saling berucap, “Orang-orang Bani Mushthaliq ini adalah saudara persemandaan Rasulullah.” Kemudian mereka semuanya memerdekakan wanita Bani Mushthaliq yang menjadi budak mereka karena pernikahan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Juwairiyyah. Seratus orang budak Bani Mushthaliq akhirnya dimerdekakan pada waktu itu. Yang kutahu, tiada seorang perempuan yamg lebih besar berkahnya untuk kaumnya daripada Juwairiyyah.”
Kepribadian dan Keindahan Paras Wajahnya.
Juwairiyyah adalah orang yang cantik wajahnya serta memiliki kecerdasan akal, ketepatan pendapat, keindahan akhlak, kefasihan ucapan dan cermat dalam berbicara. Dia dikenal sebagai orang yang berhati bersih dan berkepribadian jernih. Dia wanita yang berkesadaran tinggi, bertakwa, bersikap wara’ dan wanita yang banyak dalam beribadah.
Dari Juwairiyyah, dia berkata, ” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang kepadaku ketika aku bertasbih pada pagi hari. Kemudian beliau pergi untuk menyelesaikan keperluan beliau. Kemudian beliau kembali lagi menemuiku di pertengahan siang, ketika aku sedang mengerjakan sholat. Beliau bertanya, “Apakah kamu masih saja duduk mengerjakan sholat?” Aku menjawab, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maukah kamu kuberitahu dzikir yang senilai dengan ibadahmu tadi – atau kalau ditimbang niscaya akan sama dengan timbangan seluruh ibadahmu tadi. Ucapan itu adalah :
سُبْحانَ الله عَدَدَ خَلْقِهِ ، سُبْحَانَ الله رِضَا نَفْسِهِ ، سُبْحَانَ اللهِ زِنَةَ عَرْشِهِ ، سُبْحَانَ الله مِدَادَ كَلِمَاتِهِ
Artinya : Mahasuci Allah sebanyak jumlah mahluk-Nya, Mahasuci Allah sebanyak perhiasan Arsy-Nya, Mahasuci Allah sampai keridhaan Diri-Nya, Mahasuci Allah sejumlah kalimat-Nya.
Begitulah Ummul Mukminin Juwairiyyah dalam beribadah dididik langsung oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Juwairiyyah tumbuh menjadi wanita yang taat, rajin beribadah, rajin shaum, rajin mengerjakan sholat malam, dan banyak berdzikir mengingat Allah.
Ummu Sulaim (Walidah Khadim, Ibunda Pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam)
Ia adalah Ummu Sulaim binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub Al-Anshariyyah. Dia adalah ibunda Anas bin Malik, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam.
Ummu Sulaim menjadi salah satu pelopor orang yang masuk Islam tatkala suaminya, Malik bin Nadht sedang pergi meninggalkan rumah. Sekembalinya Malik dari perjalanan, Malik meminta Ummu Sulaim untuk meninggalkan agamanya dan kembali menjalankan agama nenek moyang. Namun Ummu Sulaim menolak ajakan suaminya itu. Bahkan sebaliknya Ummu Sulaim mengajak suaminya untuk masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Suaminya tidak ingin mengucapkannya, lalu ia pun keluar dari rumah dalam keadaan marah. Dalam perjalanan Malik bin Nadht dibunuh oleh musuhnya. Saat Ummu Sulaim mengetahui kematian suaminya, Ummu Sulaim mengharapkan pahala dari Allah.
Ummu Sulaim menjadikan anaknya, Anas bin Malik, menjadi pelayan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ummu Sulaim datang menjumpai Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan mengajak anaknya Anas bin Malik, dia berkata:
“Wahai Rasulullah, ini Unais (Anas kecil) anak laki-lakiku, aku datang menjumpaimu bersama dia agar dia dapat menjadi pelayanmu. Mohon doakan dia kepada Allah. “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa, “Ya Allah, perbanyaklah hartanya dan anaknya.” Anas berkata, “demi Allah, sesungguhnya aku memiliki harta yang sangat banyak, dan sesungguhnya anak serta cucuku itu jumlahnya hampir mencapai seratu sekarang ini.”
Anas bin Malik mulai saat itu pun menjadi pelayan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia melayani keperluan, serta mempelajari petunjuk, akhlak, dan ilmu beliau.
Ummu Sulaim menempati kedudukan yang tinggi dan martabat yang mulia di hati Al-Habib Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau sering sekali berkunjung ke rumahnya, mendoakanyya, dan juga mendoakan putranya, Anas bin Malik. Dalam kitab Al-Jihad, Imam An-Nawawi menyebutkan Ummu Haram saudara perempuan Ummu Sulaim, bahwa keduanya adalah bibi Rasulullah Shallallahu ‘Alihi wa Sallam sehingga keduanya menjadi mahramah bagi beliau. Sehingga beliau boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan salah satu dari mereka berdua.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi Ummu Sulaim berita gembira berupa jannah. Dari Anas bin Malik, dia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku masuk ke dalam Jannah, lalu aku mendengar suara. Aku bertanya, ‘Siapa ini?’ Penghuni Jannah menjawab, ‘Ini adalah Al-Ghumasha’ binti Milhan, ibunda Anas bin Malik.’
Khaulah
Ada beberapa shahabiyat yang memiliki nama Khaulah. Di dalam buku Wanita-Wanita Mulia di Sekitar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini sedikit mengangkat nama Khaulah binti Hakim bin Auq’ash istri Utsman bin Maz’un. Yaitu saat Khaulah binti Hakim Auq’ash menawarkan pernikahan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah wafatnya Khadijah binti Khuwailid.
Dari ‘Aisyah, dia berkata :
Tatkala Khadijah wafat, Khaulah binti Hakim bin Auq’ash – istri Utsman bin Maz’un, ketika berada di Makkah, berkata. “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak menikah lagi?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam balik bertanya, “Menikah dengan siapa?” Khaulah kembali bertanya, “Engkau ingin menikah dengan gadis atau janda?” Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Kalau gadis, siapa?” Khaulah menjawab, “Putri orang yang kau cintai, yakni ‘Aisyah binti Abu Bakr.” Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Kalau janda, siapa?” Khaulah menjawab, “Saudah binti Zam’ah, dia beriman kepadamu dan mengikutimu pada seluruh perintah dan ajaranmu.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Baik. Pergilah dan pinanglah kedua perempuan itu untuk aku.”
Khaulah berkata, “Aku langsung berangkat untuk menemui Saudah dan bapaknya. Aku berkata, ‘Betapa indahnya, Allah memasukkan kebaikan dan berkah ke dalam keluarga kalian.’ Saudah bertanya, ‘Apa itu?’ Khaulah menjawab, ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruhku meminang kamu untuk beliau.'”
Saudah menjawab, “Tentu, saya menerimanya. Temuilah bapakku. Sampaikanlah pinangan Rasul dan persetujuan itu kepada beiau’-bapak Saudah adalah seorang tua renta yang menunggu datangnya jamaah haji ke Makkah- maka aku mengucapkan salam sebagaimana ucapan salam orang jahiliyah kepadanya. Kukatakan kepadanya, ‘Betapa indah pagi ini.’ Dia bertanya,’Siapa engkau?’ Aku menjawab, ‘Khaulah.'”
Khaulah berkata, “Dia mengucapkan selamat datang dan menyambutku, lalu dia mengungkapkan apa yang dia ungkapkan.”
Khaulah berkata, “Aku mengatakan, ‘Sesungguhnya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib meminang putrimu.’ Zam’ah, ayahanda Saudah, menyahut, ‘Dia adalah pria yang perwira dan mulia, lalu apa jawab putriku.’ Khaulah berkata,’putrimu menerimanya dengan senang hati.’ Zam’ah berkata,’Beritahukan kepada dia agar dia datang ke sini.'”
Khaulah berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke rumah Saudah bin Zam’ah, lalu beliau menikahinya.”
Abdullah bin Zam’ah datang dari berpergian. Dia menjumpai saudara perempuannya sudah dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia menebarkan debu ke kepalanya. Tatkala masuk Islam, Abdullah bin Zam’ah berkata, “Sesungguhnya aku adalah orang bodoh ketika menebarkan debu ke kepalaku, yakni saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi saudara perempuanku.'”
Sepenggal Harap
Kenapa saya mengangkat kisah Ummul Mukminin Juwairiyyah dalam tulisan saya kali ini. Bukankan ada Khadijah binti Khuwailid yang menemani Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam penuh cinta dan pengorbahanan. Bahkan disebutkan bila Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid adalah salah seorang dari empat wanita yang dijamin masuk surga? Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَيِّدَاتُ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَرْبَعٌ: مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ، وَفَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ، وَآسِيَةُ
“Pemuka wanita ahli surga ada empat: Maryam bintu Imran, Fatimah bintu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khadijah bintu Khuwailid, dan Asiyah.” (HR. Hakim 4853 dan dinilai ad-Dzahabi: shahih sesuai syarat Muslim).
Maka untuk menjawab itu, saya akan kembali ketujuan awal pembelian buku ini yaitu mencari nama-nama wanita shalih untuk buah hati tercinta. Khadijah, ‘Aisyah, Maryam adalah sosok-sosok wanita yang layak dijadikan panutan. Namun nama mereka sudah kerap kali terdengar. Bagi saya pribadi nama Juwairiyyah, Al Ghumasha’ dan Khaulah cukup menarik dalam penyebutannya. Unik pun memiliki nilai yang tinggi bila dilihat dari sisi histori keislaman.
Menjadi ibu itu sebuah kemuliaan. Mengandung, melahirkan lalu membesarkan tak cukup hanya dengan menyediakan ragam fasilitas bagi si anak. Kebahagiaan anak tentu harapan bagi tiap orang tua. Tapi bagaimanakah cara membungkus kebahagiaan-kebahagiaan yang didapat itu di atas ridho Allah Azza wa Jalla. Rasanya, bagi seorang muslimah seperti saya, sebuah keceriaan tak diatas syariat itu sebuah kesia-siaan.
Meski masih banyak hal yang tak saya pahami. Fakir dalam ilmu agama, tapi keinginan mendidik anak-anak di atas sunnah begitu kuat. Membaca menjadi salah satu cara saya menggali ilmu agama. Semoga Allah memberi saya kemudahan. Melalui buku ini saya dapat belajar bagaimana tawadhu dan zuhudnya seorang ummul mukminin seperti ‘Aisyah. Atau sepert apa sifat wara’ yang dimiliki Juwairiyyah. Atau saya bisa berkaca kepada Ummu Sulaim dalam mendidik 9 anaknya menjadi penghapal Al Quran. MasyaAllah.
Akhir Kata
Sebutlah tulisan kali ini sebagai pengingat bagi saya pribadi dan semoga menjadi hal bermanfaat bagi yang membaca. Pandemi belum usai. Meski begitu saya berusaha untuk tetap waras meski ruang gerak terbatas. Merawat ketaqwaan agar tak tergerus oleh frustasi atas ketidakberdayaan menghadapi masa-masa pandemi seperti ini tak mudah. Tapi kondisi saat ini menjadikan saya kian paham betapa kita memang tidak memiliki kekuasaan atas apa pun. Dan beginilah sejatinya hidup yaitu berupa ujian yang memang sudah sunnatullah tidak bisa dihindari. Wallahu ‘alam.